الخميس، 9 ديسمبر 2021

Arabisme dalam Pandangan Islam

 

Arabisme dalam Pandangan Islam

Perspektif Kebinekaan di Indonesia

Oleh: Dr.H.Ade Budiman, Lc., MA.*

Pendahuluan

Kita menyadari betapa pentingnya arti kebinekaan, dalam menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan yang terjalin selaras antar sesama rakyat Indonesia, ketika kita dihadapkan dalam permasalahan perbedaan pemikiran, idiologi dan keselarasan berfikir dalam implementasi kehidupan di Indonesia, maka hal tersebut menjadi bentuk proses dari pendewasaan diri kita dalam menerima perbedaan pendapat, kendati terjadi Pro dan Kontra dalam menginterpretasikan hal tersebut.

 

Hal ini senada dengan idiologi tertinggi Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu yang menganut dasar Pancasila sebagai tolak ukur dari nota kesepahaman antar rakyat indonesia baik yang diamini mulai dari  sabang sampai dengan merauke. Walaupun sekarang umat Islam tengah didudukkan dengan berbagai fenomena perbedaan dalam konsep, prinsip dan idealisme, yaitu ketika bangsa Indonesia yang terbagi dalam beberapa Suku, Agama, Ras serta Adat-Istiadat. Terlebih lagi ketika kita menyimak statemen ibu Megawati Soekarnoputri dalam HUT PDI-P menjadi sorotan public, dan menjadi viral terutama pada bagian "Kalau jadi Islam, jangan jadi orang Arab", begitupun pada statemen yang lainnya tentang “Pancasila sebagai “pendeteksi sekaligus tameng proteksi” terhadap tendensi hidupnya “ideologi tertutup”, yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Ideologi tertutup tersebut bersifat dogmatis. Ia tidak berasal dari cita-cita yang sudah hidup dari masyarakat. Ideologi tertutup tersebut hanya muncul dari suatu kelompok tertentu yang dipaksakan diterima oleh seluruh masyarakat. Mereka memaksakan kehendaknya sendiri; tidak ada dialog, apalagi demokrasi. Apa yang mereka lakukan, hanyalah kepatuhan yang lahir dari watak kekuasaan totaliter, dan dijalankan dengan cara-cara totaliter pula.” Serta pada bagian yang lainnya mengatakan “Disisi lain, para pemimpin yang menganut ideologi tertutup pun memosisikan dirinya sebagai pembawa “self fulfilling prophecy”, para peramal masa depan. Mereka dengan fasih meramalkan yang akan pasti terjadi di masa yang akan datang, termasuk dalam kehidupan setelah dunia fana, yang notabene mereka sendiri belum pernah melihatnya.”. Beragam reaksi muncul sebagai respon terhadap statemen tersebut.

 

Kutipan tersebut sebagaimana konsepsi pidato dari ayahandanya yaitu sang proklamator RI: Ir. Soekarno yang menyatakan: “Kalau jadi Hindu, jangan jadi orang India. Kalau jadi Islam, jangan jadi orang Arab. Kalau jadi Kristen, jangan jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi orang Indonesia dengan adat budaya Nusantara yang kaya raya ini”, dan ini menjadi suatu statemen utuh dalam mempersatukan keberagaman dan kemajemukan hidup rakyat Indonesia sampai dengan saat ini.

 

Umat Islam di Indonesia dihadapkan dengan problematika pemahaman yang muncul akhir-akhir ini seolah-olah segelintir kalangan dari Umat Islam di Indonesia-lah yang salah dan tidak paham, dengan tidak serta merta sejalan dengan konsepsi Negara kesatuan Republik Indonesia, sehingga sangat disayangkan sekali timbulnya perbedaan prinsip dalam mempersepsikannya dikalangan baik tataran para Ulama, Cendikia, Umara dan Umat Islam Indonesia itu sendiri, sedangkan nilai luhur dan idealisme dalam agama pada masa klasik di Indonesia telah menjadi sumber pemertahanan kultur dan harmoni dalam relasi pergaulan sesama, yakni Indonesia yang ber-Bhineka Tunggal Ika. Gambaran data sejarah agama pada masa klasik di Indonesia dipandang penting untuk merekonstruksi masyarakat Indonesia yang plural dan multikultural pada masa sekarang dan yang akan datang.

 

Kita dihadapkan dalam memahami konteks tersebut, sehingga interpretasi-pun diperlukan seperti: "Apakah karena saya orang Indonesia, lantas tidak boleh mengucapkan Wassalamu'alaikum, melainkan harus sampai jumpa lagi, selamat pagi, selamat siang dan selamat malam?", atau "Apakah menjadi tidak Indonesia, ketika umat Islam memilih mengucapkan Alhamdulillah sebagai ganti dari puji tuhan, atau jazakumullah dengan terimakasih ketika bersyukur sebagai ungkapan rasa syukur kita?". Tantangan bagi umat Islam  saat ini adalah untuk  mampu  memilah dan memilih. Menutup aurat adalah ajaran Islam, bukan budaya Arab, jadi hukumnya wajib. Dan menjalankannya dilindungi undang-undang. Aturannya jelas dalam Alquran juga  hadits. Sekalipun segelintir orang mengatakan jilbab merupakan budaya Arab, akan tetapi pendapat ini tidak didukung bukti kuat. Sebelum datangnya Islam, perempuan Arab tidak memakai jilbab sebagaimana  sekarang, bahkan ditinjau secara histori bahwa pada masa Arab Jahiliah tidak sedikit wanita yang berbusana terbuka ketika mengelilingi Kabah, Dalam konteks dewasa ini, Indonesia menghadapi problem kemajemukan dan keberagaman pemikiran dan pandangan. Ada banyak agama, ada banyak ideologi, ada banyak pendekatan, ada banyak cita-cita, dan bahkan ada banyak kelompok. Maka masalahnya adalah bagaimana memecahkan problema realitas kehidupan antara kemajemukan dan kompleksitas di satu pihak dengan persatuan di lain pihak. Islam menghargai budaya,  sepanjang tidak menyalahi syariah. Menjadi Islam adalah titik awal proses seseorang menuju takwa. Menjadi Islam berarti menjalankan Al-Quran dan sunnah Nabi-Nya. Bagi mereka yang beriman, di dalamnya termasuk ikhtiar untuk meluruskan budaya lokal atau adat yang tidak sesuai ajaran Islam.

 

Ada dua faktor yang dapat dipertimbangkan sebagai sebab mengapa muncul integrasi semacam itu pada masa lalu dalam masyarakat Indonesia. Faktor Pertama adalah: Pemahaman akan gagasan nasionalisme oleh para pemimpin pergerakan sebagai satu produk ide modernitas yang terpenting pada masa pergerakan nasional melawan kaum penjajah, sebelum mereka sempat memikirkan bentuk negara; dan Kedua adalah faktor keagamaaan, khususnya agama Islam. Kedudukan Islam sebagai agama mayoritas telah menjadi pengikat berbagai suku yang tersebar di kepulauan nusantara dan merupakan salah satu dasar persatuan yang penting.

 

Pada tulisan ini penulis ingin mengetengahkan Arabisme dalam pandangan Islam perspektif kebhinekaan di Indonesia, yang sekarang tengah diperdebatkan dimasyarakat baik dalam bentuk media masa, viral dan sebagainya, sebagai tindak lanjut dari fenomena Konteks Ajaran Islam di Indonesia sebagai agama mayoritas yang dianut sekitar 85% penduduk Indonesia, dengan mengetengahkan konteks arabisme yang dikalangan sebagian Umat Islam adalah penting sebagai bukti nyata kecintaan umat Islam di Indonesia terhadap agama Islam, dengan mencintai Allah SWT dan Rasulullah SAW dan Al-Qur’an-Nya, oleh karenanya patutlah untuk mencintai bahasa Arab, karena mustahil memahami agama Islam tanpa bahasa Arab.

 
Arabisme; Tinjauan secara Etimologi, Terminologi dan Teori

Banyak dikalangan para pemikir orientalis yang mendefinsikan Arabisme/nasionalisme kearaban sebagai suatu perlawanan ataupun penentangan terhadap Islam, tapi pada tataran realistiknya, apakah hal tersebut adalah benar terbukti adalanya dalam konteks kekinian?. Ini mengacu dari beberapa opini yang berkembang pada saat ini. Dan hal ini merupakan propaganda yang di buat oleh barat (Red: dalam hal ini para pemimpin Eropa dan Amerika) yang ketika itu menyebarkan isu tersebut untuk meruntuhkan kekuasaan Khilafah Utsmaniah yang berada di Turki, dan inilah yang selalu digembar-gemborkan slogan nasionalisme tanpa berfikir kesatuan dalam wadah kepemerintahan Khilafah Islam yang ketika itu ada akan tetapi memanfaatkan keadaan untuk mencerai-beraikan kesatuan Umat Islam ketika itu.

 

Dengan demikian wacana pemikiran tersebut tersebar luas dikalangan suku dan bangsa Arab yang ketika itu berada didalam naungan Khilafah Utsmaniah di turki, dan atas dorongan kuat dari eropa dan penduduk kristen yang ketika itu tinggal dalam naungan kekhalifahan tersebut. Dan wacana tentang kebangsaan ataupun nasionalisme-pun sukses dijargonkan oleh eropa barat dalam menumbangkan kepemerintahan khilafah Utsmaniah, sehingga wilayahnya terpecah menjadi beberapa daerah atau wilayah meliputi timur tengah sampai dengan bagian timur dan utara benua Afrika. Sedangkan pada masa kolonial, agama Islam mengambil bentuk formalnya sebagai gerakan perjuangan melawan penjajah (peran prophetic religion).

Agama pada masa ini merupakan sumber integrative yang menyatukan individu dan membentuk masyarakat atas dasar solidaritas mekanis, yang menjadi kekuatan pembebas. Peran agama prophetic ini hakikatnya peran pertama dari agama, perjuangan Nabi sebenarnya bukan hanya menyebarkan keyakinan atau iman kepada Allah SWT, walaupun tauhid adalah dasar dari seluruh ajaran nabi. Ketika Muhammad mulai diutus sebagai Nabi atau Rasul, setelah mendapat wahyu, masyarakat Arab sebenarnya telah mengenal Tuhan Yang Mahaesa, yang disebut Allah. Bahkan sebagian masyarakat Arab masih menganut agama hanif (penganut agama Ibrahim).

Orang-orang Yahudi juga percaya kepada Tuhan Yang Mahaesa, demikian juga agama Kristen. Itulah sebabnya wahyu pertama yang turun kepada Nabi Muhammad adalah membawa pada kebudayaan Baru, kebudayaan yang anti diskriminasi, anti rasial, tapi memuat persamaan (musawat), dan kemerdekaan dari perbudakan (hurriyat). Sekalipun ajaran tauhid itu senantiasa ditekankan dalam ayat-ayat yang diturunkan, namun wahyu juga mengajarkan gagasan-gagasan sosial, ekonomi, kemasyarakatan, dan kebudayaan. Salah satu ajaran yang menonjol yang terkandung dalam ayat-ayat makkiyah adalah dengan adanya rasa kepedulian terhadap kemiskinan, perbudakan, dan etika bisnis. Dengan kata lain, Islam membawa misi perubahan sosial. Seperti kita lihat pada masa Jahiliyah di Arab, yang ketika itu suatu bangsa ayau masyarakat sebelum datangnya Islam, masih diliputi dengan praktik-praktik yang berlawanan dengan ajaran tauhid serta ajaran-ajaran lain dalam Islam, seperti misalnya; tata sosial tanpa hukum (Laotik), Takhayul, Mitologi, Feodalisme, Ketidakperdulian kepada nasib orang kecil yang tertindas, pengingkaran hak asasi manusia, perlawanan terhadap prinsip persamaan umat manusia dimata hukum, dan semuanya ditiadakan dan diganti dengan ajaran-ajaran Islam tentang Tauhid atau paham Ketuhanan yang Maha Esa (dengan implikasi terkuat anti pemujaan gejala alam dan sesama manusia (Culturism), dengan tertib hukum, rasionalitas, penilaian berdasarkan kenyataan dan pandangan ilmiah, penghargaan (Reward) sesama manusia atas dasar prestasi dan hasil kinerja, keadilan sosial, paham persamaan antara umat manusia (Al-Musawah, egalitarianisme).

Sebagaimana juga dikatakan oleh Eric Fromm, dimensi kenabian tidak pernah bersifat murni spiritual, melainkan juga social dan politik. Sebagai seorang Yahudi Fromm mengambil Moses sebagai model. Sebagai seorang Nabi, Moses mengemban misi membebaskan umat Israel dari perbudakan Fir’aun di Mesir. Setelah kaumnya terbebas, dengan melakukan eksodus menyeberangi Laut Merah menuju ke tanah Harapan atau tanah yang dijanjikan Tuhan (the promised land), Moses membangun suatu masyarakat baru berdasarkan hukum Tuhan. Lebih lanjut Fromm memberikan beberapa ciri misi kenabian. Pertama, nabi itu selalu mengabarkan tujuan hidup menuju Tuhan, sehingga dengan mendekatkan diri kepada Tuhan kehidupan manusia menjadi lebih manusiawi; Kedua, cara nabi untuk menyadarkan manusia agar manusia bisa mengatur perilaku mereka adalah dengan memberikan alternatif-alternatif dengan konsekwensi-konsekwensinya masing-masing; Ketiga, Nabi mewakili hati nurani rakyat banyak dan melakukan protes terhadap tindakan-tindakan manusia yang salah; Keempat, Nabi tidak hanya mengajarkan keselamatan pribadi (personal salvation), tetapi juga keselamatan masyarakat; dan kelima, Nabi mengilhami suatu kebenaran.

Sebagai hasil dari konsepsi pemikiran politik tersebut, kini Islam dalam hal ini sebagai wadah Ukhuwah Islamiyah dihadapkan dan dicampur-adukkan dengan persaingan ideologi Arabisme. Dan dianggap menjadi suatu makna kesatuan yang selalu melekat diantara keduanya dengan mengedepankan skala prioritas bagi bangsa Arab secara khusus dan umat Islam pada umumnya. Dan implikasi dari pemahaman tersebut akan terdapat penolakan dari sebagian kalangan, bahwasannya dengan mempetakan konsepsi yang sedemikian itu dapat mencederai kesakralan akan Al-Qur’an sebagai Kitab Allah SWT beserta bahasa Arabnya, sebagaimana dia (Red. Al-Qur’an) sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa, Dan pada waktu yang sama, terdapat sebagian yang mengamini akan keberadaan Arabisme yaitu dengan mengusungnya sebagai bentuk mempertahankan Ajaran Islam, Kitab suci Al-Qur’an dan Bahasa Arabnya.

 

Walaupun sebagian pemikir Islam berpendapat bahwasannya Arabisme merupakan produk pergerakan sekulerisme Arab pada awal mulanya yang dibangun oleh para penganut agama kristen Arab, kemudian menjadi bias dalam konteks pemaknaan serta implementasinya, dikarenakan perhelatan pandangan didalam mempertahankan eksistensi tradisi Arab dan eksistensi ajaran agama Islam yang muncul dan berkembang disana, dan ini menjadi indikasi kuat bahwasannya dengan mempertahankan Arab secara etnis dan budaya berarti mempertahankan Islam secara utuh. Maka hal inilah yang menjadi suatu opini yang muncul bahwasannya dengan melestarikan budaya dan tradisi Arab sehingga penyimpangan makna terjadi, bahwa tradisi dan budaya arab masih merupakan bagian dari konteks ajaran agama Islam, Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa untuk menjadi Islam bukan berarti menjadi kearab-araban, sebab menjadi kearab-araban belum tentu Islam. Tapi ingat, Rasulullah SAW itu orang Arab dan Alquran diturunkan dalam bahasa Arab. "Kita mencintai Islam, mencintai Allah dan Rasulullah SAW, mencintai Alquran, karenanya kita juga mencintai bahasa Arab, karena mustahil memahami agama Islam tanpa bahasa Arab.

 

Untuk Menjadi modern, juga tidak harus kebarat-baratan, sebab Barat juga belum tentu modern. Bagi Muslim, di mana ada hikmah, termasuk sains dan iptek maka itu boleh saja diadopsi, Kita tidak bisa membenci Barat, yang kita benci adalah kezaliman yang timbul bila mana itu terjadi, termasuk bila itu yang melakukan adalah barat. Kita mencintai Islam, juga barat yang memeluk Islam, Islam itu fair. Tapi yang jelas, menjadi Muslim berarti mengakui Allah sebagai Dzat satu-satunya yang layak disembah dan ditaati, artinya? Baginya tak ada hukum yang lebih layak dari hukum Allah. Dan secara konsekuensinya dari semuanya itu ada setelah Allah dan Rasul-Nya. Apakah itu konstitusi, apakah itu perundangan, bahkan itu hidup manusia. Sebab, kita semua dari dan kembali kepada Allah. sebaliknya, bila ada yang mengaku Muslim, tapi malah menjadikan hukum Islam sebagai masalah, sebagai ancaman. Kita maka mestinya berbalik tanya, apakah Kitabullah dan sunah masih jadi rujukanmu?", maka ketika Ditanya agamanya, jawabnya Islam, tapi hukum Islam tidak tahu, ketaatan malah sulit, belajar juga malas, tapi berkata atas dasar Islam? Yang begini lebih pantas diabaikan saja.

 

Sangat miris memang dengan apa yang kita rasakan bilamana hal tersebut terjadi pada segelintir umat Islam yang tidak mempelajari Islam secara komprehensif.

 

Pergulatan antara penganut kebenaran dan pengikut kebatilan sejatinya adalah kepastian dari Allah Subhanahu wata’ala. Dengan ilmu dan kekuasaan-Nya yang sempurna dan tiada batas, Dia Subhanahu wata’ala telah menakdirkan terjadinya sampai datangnya hari kiamat. Allah Subhanahu wata’ala mengabarkan tentang awal pergulatan tersebut, yaitu antara Bapak kita, Adam ‘Alaihissalam, dan Iblis la’natullah ‘alaih. Iblis telah menyatakan permusuhan kepada manusia di hadapan Allah Subhanahu wata’ala, Kepastian ini juga akan dihadapi oleh seluruh nabi setelah Adam  beserta para pengikut mereka. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan  (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indahindah untuk menipu (manusia). Jika Rabbmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka adaadakan.” (Q.S. Al-An’am [6]:112)

 

Terlebih lagi pergulatan yang harus dihadapi oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melawan pembela kebatilan sehingga Allah Subhanahu wata’ala mengibur beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana firman- Nya:“Sesungguhnya, Kami mengetahui bahwasanya apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu, (janganlah kamu bersedih hati), karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang zalimitu mengingkari ayat-ayat Allah. Sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami kepada mereka. Tak ada seorang pun yang dapat mengubah kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Dan sesungguhnya telah datang kepadamu sebahagian dari berita rasul-rasul itu.” (Q.S. Al-An’am [6]:33—34)

 

Kita meyakini bahwa perseteruan yang terjadi antara Ahlul Haq (pengikut kebenaran) dan Ahlul Baathil (pengikut kebatilan) di dunia fana ini terjadi dengan takdir Allah Subhanahu wata’ala dan disertai oleh hikmah- Nya yang sempurna karena Allah Subhanahu wata’ala adalah Yang Mahabijaksana.

 

Islam dan Kebhinekaan di Indonesia

Dalam sejarah Indonesia agama Islam tidak hanya berfungsi sebagai priestly religion (Agama Imam) atau sebagai penyangga status qua dengan mayoritas penduduk dengan pemeluknya 85%, tapi ia juga berfungsi sebagai propethic religion (Agama Kenabian) yang menjadi model mobilisasi massa untuk menggerakan perubahan dibumi pertiwi yang tercinta. Dan ketika Pasca kemerdekaan, peran agama dalam sejarah kebangsaan Indonesia masih sangat strategis, dengan dibuktikan pada keberhasilan program keluarga berencana pada masa orde baru, program transmigrasi, swasembada pangan yang tidak bisa dilepaskan dari pengaruh pemuka agama dalam memberikan kontribusi religi.

 

Agama melekat pada multi dimensi baik, sosial, ekonomi, dan politik. Oleh karena itu dalam konteks Indonesia tidak dikenal adanya pemisahan struktur agama dari negara, tapi juga agama dan negara bukan menjadi lembaga yang menyatu secara utuh. Sebagaimana Syahristani dalam kitabnya Al-Milal Wa An- Nihal menyinggung tentang teori peradaban manusia yang dipengaruhi oleh letak daerah huniannya dalam pembagian bola dunia menjadi timur, barat, utara dan selatan. Bangsa-bangsa timur berbeda dengan bangsa-bangsa barat, dan mereka yang berada di belahan bumi utara berbeda dengan yang dibelahan bumi selatan. Kemudian ia menyebutkan dengan adanya empat bangsa induk diunisa ini, yaitu Arab, persia, India dan Roma (Eropa). Ia menyebutkan dengan adanyan kemiripan bangsa-bangsa Arab dan India, yaitu kedua-duanya cenderung kepada pengamatan ciri-ciri khusus suatu kenyataan dan membuat penilaian berdasarkan pandangan tentang substansi dan hakikat kenyataan itu, dengan menggunakan pertimbangan-pertimbangan keruhanian. Sedangkan bangsa-bangsa Roma (Eropa) dan Persia mempunyai persamaan menurut tabiat luarnya, kemudian menjadi penilaian menurut ketentuan-ketentuan kualitatif dan kuantitatif, dengan menggunakan pertimbangan-pertimbangan kejasmanian.

 

Di Indonesia sejak awal abad ke- 20, mulai timbul berbagai gerakan keagamaan yang punya misi kebangsaan dalam situasi kolonial. Pada masa itu pusat gerakan keagamaan lebih banyak tertuju kepada soal-soal kemasyarakatan, seperti pendidikan, sosial ekonomi. Para pemimpin pergerakan Islam, seperti H. Samanhudi, HOS Tjokoaminoto, Tirto Adisuryo mendirikan Serikat Dagang Islam, Ideologi mereka adalah Islam yang menolak kolonialisme dan menuntut kemerdekaan , baik dalam bidang ekonomi, maupun politik.

 

Menjelang dasawarsa 1930-an, pergerakan nasional maju selangkah lagi, yaitu mencita-citakan Indonesia merdeka, bebas dari penjajahan. Setelah Sumpah Pemuda mengeluarkan trilogi kebangsaan “satu nusa, satu bangsa, satu bahasa. Gerakan Islam juga mengikuti langkah maju itu. Namun, diskursus tentang gagasan sosial politik masih tetap berada pada tingkat gagasan kemasyarakatan, bahkan terdapat tiga aliran ideologi besar, ideologi Islam, komunisme, dan nasionalisme sekuler. Munculnya tiga aliran aliran tersebut di latar belakangi oleh pendidikan yang diterima oleh masing-masing tokoh pergerakan, Ketiga aliran tersebut terlibat dalam konflik ideologis, sampai akhirnya tercapai kompromi antara kubu nasionalis sekuler dan Islam. Umat Islam memang gigih memperjuangkan kemerdekaaan Indonesia dari agresi Belanda yang datang dengan bantuan tentara sekutu untuk kembali menjajah Indonesia. Tokoh-tokohnya duduk dalam posisi-posisi politik penting, baik dalam kabinet maupun perjuangan fisik dan diplomatik. Sementara para santri terlibat langsung dalam perjuangan fisik sambil memekikkan takbir dalam perjuangan melawan sekutu sampai kemerdekaan Indonesia tercapai. Dalam pada itu usul agar setelah Indonesia merdeka, soal-soal keagamaan digarap oleh suatu kementriaan tersendiri dan tidak lagi diperlakukan sebagai bagian dari  Kementrian Pendidikan. Kementrian keagamaan ini merupakan suatu konsesi kepada kaum muslimin yang bersifat kompromi: kompromi antara teori sekuler dan teori Islam.

 

Jelang Memasuki orde baru, konflik 3 aliran ideologi mulai mereda, ideologi komunis dibubarkan dan dilarang, dan Pancasila ditetapkan sebagai asas tunggal semua organisasi social dan politik berbangsa dan bernegara. Melihat sejarahnya, ada beberapa sebab mengapa Pancasila dapat diterima sebagai kesepakatan bangsa. Bagi gerakan Islam, alasan utama yang bersifat sosial politik bagi penerimaan Pancasila adalah karena dengan dan dalam Pancasila, seluruh unsur bangsa dan masyarakat bisa bersatu, karena ia adalah merupakan kesepakatan bersama untuk tunduk kepada nilai-nilai yang disepekati bersama itu. Ini juga berarti bahwa seluruh unsur bangsa dan masyarakat sepakat untuk bersatu. Sebab pokok mengapa gerakan Islam mau menerima kata sepakat ini adalah karena semua sila dalam Pancasila itu dinilai paling tidak bertentangan bahkan sesuai dengan ajaran Islam, terutama sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Bahkan pada dekade tahun 1970-an, hingga kini kegiatan Islam semakin berkembang bila dibandingkan dengan waktu-waktu sebelumnya. Terlihat ada tanda-tanda kebangkitan Islam seperti, fenomena banyaknya mesjid-mesjid, musholla, pesantren, bahkan kini telah menjamur sekolah-sekolah islam terpadu yang diikuti dengan semakin tumbuh dan berkembangnya kesadaran beragama, terutama di kalangan anak muda. Pengajian-pengajian agama juga semakin semarak dengan jumlah jama’ah yang cukup banyak, baik di departemen-departemen, perusahan-perusahaan, dan di lingkungan kampus-kampus. Ini mungkin dapat disebutkan sebagai kelanjutan proses islamisasi terhadap golongan abangan/priyayi yang berpendidikan.

 

Demikianlah peran agama yang kuat seperti di Indonesia, sangat mendukung cita-cita Negara ideal. Di sini agama dan Negara dipandang sebagai wadah dan sekaligus perwujudan nilai-nilai luhur. Itulah yang menjelaskan mengapa di Indonesia, demokrasi diberi predikat Pancasila. Karena demokrasi untuk merealisasikan nilai-nilai luhur Pancasila dan sekaligus agama. Sungguhpun demikian, sejalan dengan arus globalisasi, ada gerakan-gerakan keagamaan yang beragam, ada yang menitikberatkan dan mengambil corak tebal tradisional, dan menjadikan tradisi sebagai sumber referensi dan fusi budaya dengan agama, tapi ada juga gerakan agama yang bersifat puritan, yang berusaha memurnikan ajaran agama dari nuansa budaya yang melahirkan aliran fanatisme dan radikalisme. Masalah yang dikhawatirkan dari radikalisme agama (Islam) adalah potensi konflik dan perpecahan sebagai akibat dari perbedaan cara pandang dalam melihat realitas kehidupan di dunia ini.

 

Hakikatnya agama lahir dalam ruang budaya, dan tidak bisa dilepaskan dari pengaruh budaya di mana agama itu lahir, tumbuh, dan berkembang, sehingga kehidupan beragama merupakan gejala universal yang ditemukan sepanjang sejarah masyarakat, dari zaman klasik sampai kontemporer. Menurut Bergson (1859-1941) “ Kita menemukan masyarakat tanpa sains, seni, dan filsafat, tapi tidak ada masyarakat tanpa agama”. Bahkan agama adalah the most important aspect of culture yang terus berinteraksi dengan institusi budaya, baik budaya material, perilaku, pandangan hidup, seperti nilai moral, ekonomi, hukum, politik, seni dan sebagainya, yang mana Agama merupakan representasi kolektif manusia  sehingga gejala-gejala sosial seringkali ditafsirkan dengan perspektif religius, lebih-lebih masyarakat akan berpaling kepada agama untuk mencari jawaban atas kompleksitas sosial yang rumit. Semakin permasalahan itu fundamental dalam hidup sosial, semakin agama dengan mudah dapat ditemukan.

 

Kajian tentang kebudayaan dan masyarakat tidak bisa dilepaskan dari empat kata kunci, the sacred, klasifikasi, ritus dan solidaritas. The sacred adalah: poros utama yang mencakup seluruh dinamika masyarakat. Dalam masyarakat selalu ada nilai-nilai yang disakralkan atau dikuduskan. Yang kudus dapat berupa simbol utama, nilai-nilai, dan keimanan (belief) yang menjadi inti sebuah masyarakat; sedangkan klasifikasi adalah: bias ditemukan dalam semua lapisan masyarakat. Durkheim meyakini bahwa klasifikasi masyarakat yang paling primordial didasarkan pada diminesi normative dan religious. Dimensi normative dan religious menjadi desain umum yang terdapat dalam kesadaran kolektif masyakat. Sistem  klasifikasi bekerja dalam kesadaran moral dan emosional masyarakat; sebagaimana yang kudus dianggap sebagai nilai ultim suatu masyarakat, maka menjaga dan memelihara yang kudus itu menjadi kewajiban masyarakat yang dilakukan lewat ritus. Dalam Ritus dihadirkan kembali makna realitas dalam masyarakat. Ritus berperan memperkokoh keberakaran rasa kolektivitas, dan menggiring anggota masyarakat meminum dari sumber kekeramatan yang sama, sehingga melahirkan solidaritas. Contoh dari solidaritas yang muncul dari agama adalah ketika banyak umat Islam yang pulang dari bermukim di Mekkah dan membangun koloni yang disebut koloni Jawi, mereka karena telah bertahun-tahun hidup dalam lingkungan keagamaan yang kuat telah menciptakan kesadaran dan solidaritas Pan Islam untuk melawan Kolonial Belanda.

 

Jadi sejatinya bahwa Islam datang selalu mengimplikasi akan adanya perombakan masyarakat atau “pengalihan bentuk” (Transformasi) sosial menuju kearah peradaban yang lebih baik, tapi pada saat yang sama kedatangan Islam tidak mesti “distruptif” bersifat memotong suatu masyarakat dari masa lampaunya semata, melainkan juga dapat ikut melestarikan apa saja yang baik dan benar dari masa lampau dan bisa dipertahankan dalam ujian ajaran ke-Universalitasan Islam itu sendiri, sehingga peran para Ulama patut kita berikan apresiasi dengan etos pemikirannya serta penyelarasan ‘Amaliah yang bersifat kontekstual Ibadah dan sosial-kemasyarakatan sehingga membuahkan etos kerja dalam bingkai Al-Muhafadhah ‘Ala Al-Qadim Al-Shalih, Wa Al-Akhdzu Bi Al-Jadiid Al-Ashlah (Konsepsi Memelihara yang lama yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik).

 

Penutup

Dunia dilingkupi dengan keberagaman kehidupan, yang berarti ada keragaman nilai, dan loyalitas masyarakat semakin terbagi, karena setiap manusia hidup dalam ranah-ranah sosial, afiliasi, dan kode-kode moral yang beragam. Di tengah dunia global itu kita dihadapkan pada tiga tipologi masyarakat, yakni masyarakat moderat yang mau beradaptasi dengan dunia luar dengan tetap menjunjung nilai-nilai dan kultur yang ada; masyarakat sekuler yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan, dan masyarakat fundamental-radikal, yang ingin memurnikan ajaran agama secara utuh, baik dari sisi isi maupun bentuk, ingin kembali seperti zaman di mana agama itu (baca Islam) lahir, tanpa memperhatikan situasi dan kondisi yang sudah sangat berubah.

 

Agama pula dapat berfungsi sebagai penyangga status qua, seperti yang terlihat dalam lembaga keagamaan bentukan pemerintah, dan dapat berfungsi pula sebagai kekuatan pembebas, yang merespon persoalan-persoalan konkret yang dihadapi oleh masyarakat, seperti kezaliman, kemiskinan, dan ketidaadilan. Walaupun dalam kenyataan empiris, agama bisa merupakan sumber konflik, namun hakikatnya agama tidak memihak kepada konflik, tetapi agama cenderung untuk menjaga harmoni dalam ikatan persaudaran, bersifat integarif dalam menyatukan tindakan, dan bersifat adaptif dengan budaya setempat, sebagai yang ditunjukkan oleh para penyebar agama Islam pada masa klasik, dan sesuai dengan kaidah fiqh “Al-‘Adatu Muhkamat” (tradisi mengandung kearifan). Di sini agama membentuk sistem sosial yang membentuk suatu tatanan kehidupan masyarakat sebagai bentuk akulturasi timbal balik antara Islam dan budaya. Itulah sebabnya agama tidak bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakat (sosial-politik), karena dalam ajaran agama terdapat manifestasi dakwah yang harus dimiliki umat Islam dalam aspek Skiil (kemampuan) dan keterampilan, sehingga dalam hal menuangkan pemikiran dan gagasan secara tertulis diperlukan perjuangan dengan yang namanya Da’wah bil Kutub agar umat Islam dapat memberikan kontribusi pesan-pesan dakwah dengan secara urgen, utuh serta efektif dan dampak positif bagi bangsa Indonesia, bahkan dapat menjadi model, parameter atau benchmarking dalam perjuangan Islam dan kebhinekaan pemikiran, pandangan hidup di Indonesia.  Wallahu ‘A’lam Bisshawab..@ 

 

*Ketua Komisi Pendidikan & Seni Budaya Islam MUI Kab. Lebak, Pengasuh Ponpes Modern Fathi Qalbi, Binuangeun-Wanasalam Lebak, Ketua Prodi Pendidikan Bahasa Arab STAI Washilatul Falah Rangkasbitung

الأربعاء، 8 ديسمبر 2021

KESETARAAN JENDER PERSPEKTIF ISLAM

 

KESETARAAN JENDER PERSPEKTIF ISLAM

CARA MEMAKNAI PERBEDAAN KODRAT DALAM TATANAN KEMANUSIAAN

Oleh: Ade Budiman*

 Pendahuluan

Al-Quran pada hakikatnya menempati posisi sentral dalam studi-studi keislaman, pada dasarnya pula Al-Qur'an menegaskan konsep keadilan dan kesetaraan  dalam pelbagai permasalahan keislaman. Di samping berfungsi sebagai Al-Hudâ (Petunjuk), Al-Quran juga berfungsi sebagai Al-Furqân (pembeda). Ia menjadi tolak ukur dan pembeda antara kebenaran dan kebatilan, termasuk dalam penerimaan dan penolakan setiap berita yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Allah SWT berfirman pada surat Al-Isra [17]:9 yang berbunyi:"Sesungguhnya Al Qur'an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang Mukmin yang mengerjakan amal shaleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar".

 

Al-Qur’an memberikan petunjuk dalam persoalan-persoalan Aqidah, Syari’ah dan Akhlak, dan meletakan sebagai prinsip-prinsip dasar (Al-Mabâdi Awwaliyyah) dalam menjelaskan persoalan-persoalan tersebut secara universal, yang selanjutnya-lah Al-Hadits yang merincikan tentang keuniversalan makna tersebut dibarengi dengan statemen Ijma’ dan Qiyas para Jumhur Ulama (Mayoritas Ulama) dalam berijtihad.

 

Allah SWT memberikan tugas kepada Rasul-Nya untuk menjelaskan kepada manusia apa yang tersirat di dalam Al-Qur’an, dari hal yang berkenaan dengan konsepsi dasar Aqidah (keyakinan), kaidah-kaidah Umum dan Khusus (dalam memahaminya secara tekstual dan kontekstual Fiqih, baik dalam konteks Ibadah dan Mu’amalah) secara komprehensif. Begitupun dalam memaknai jender sebagai perbedaan yang bersifat sosial-budaya yang merupakan nilai yang mengacu pada sistem hubungan sosial yang membedakan fungsi serta peran perempuan dan laki-laki dikarenakan perbedaan biologis atau kodrat yang oleh masyarakat kemudian dibakukan menjadi suatu “budaya/tradisi” dan seakan tidak lagi bisa ditawar. Apalagi kemudian dikuatkan oleh nilai ideologi, hukum, politik, ekonomi dsb. Atau dengan kata lain jender adalah nilai yang dikonstruksi oleh masyarakat setempat yang telah mengakar di alam-bawah sadar kita, seakan ia merupakan mutlak dan suatu keharusan dan tidak bisa digantikan lagi.

 

Jender adalah pandangan atau Mindset yang dibentuk masyarakat tentang bagaimana seharusnya seorang perempuan atau laki-laki bertingkah-laku maupun berpikir. Misalnya pandangan bahwa seorang perempuan ideal harus pandai memasak, pandai merawat diri, lemah lembut atau keyakinan bahwa perempuan adalah makhluk yang sensitif, emosional, selalu memakai perasaan, dan anti akan kekerasan. Sebaliknya seorang laki-laki sering dilukiskan berjiwa pemimpin, pelindung, kepala rumahtangga, rasional dan tegas.

 

Oleh Karenanya dalam Al-Qur’an sudah jelas diterangkan bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam ayatanya QS. Al-Hujurât [49]:13 yang berbunyi: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. Sejatinya mereka adalah “sama”, yang membedakan hanyalah ketaqwaannya saja.

 

Pandangan Ahli Tafsir

Dalam QS. Al-Hujurât [49]:13, kita dibawa untuk memahami dan mendalami kontekstual pemaknaan tafsirnya, sebagaimana Abu Bakar Al-Jazairi (Aysar Al-Tafâsir Li Al-Kalâm Al-‘Aliy Al-Kabîr:J.5:h.131:Thn.1997) menyatakan; seruan ini merupakan seruan terakhir dalam surat Al-Hujurât. Dibandingkan dengan seruan-seruan sebelumnya yang ditujukan kepada orang-orang beriman, seruan ini lebih umum ditujukan kepada seluruh manusia (Al-Nâs). Allah Swt. mengingatkan manusia tentang asal-usul mereka; inilah rahasia (hikmah) dibalik penciptaan manusia yang dibedakan dengan hewan binatang lainnya, bahwa mereka semua adalah ciptaan-Nya yang bermula dari seorang laki-laki dan seorang perempuan (min dzakar wa untsâ) yang berketurunan dan bersilsilah lain dengan binatang. Menurut para mufassir, Dzakar wa Untsâ ditujukannya kepada Nabi Adam AS dan Siti Hawa AS. Seluruh manusia berpangkal pada bapak dan ibu yang sama, karena itu kedudukan manusia dari segi nasabnya pun setara. Konsekuensinya, dalam hal nasab, mereka tidak boleh saling membanggakan diri dan merasa lebih mulia daripada yang lain. Menurut mufassir lain, kata Dzakar wa Untsâ juga bisa ditafsirkan seorang bapak dan seorang ibu; atau sperma (laki-laki) dan ovum (perempuan). Karena berasal dari jenis dan bahan dasar yang sama, berarti seluruh manusia memiliki kesamaan dari segi asal-usulnya.

Imam Fakhruddin Al-Razi (Tafsir Al-Râzi: Mafâtih Al-Ghayb:j.28:h.137) memberikan paparan menarik. Menurutnya, segala sesuatu bisa diunggulkan dari yang lain karena terdapat dua faktor yang menghadirkan nuansa yang berbeda didalam memaknainya yaitu:

1.      Faktor yang diperoleh sesudah kejadiannya seperti kebaikan, kekuatan, dan berbagai sifat lain yang dituntut oleh sesuatu itu;

2.      Faktor sebelum kejadiannya, baik asal-usul atau bahan dasarnya maupun pembuatnya; seperti ungkapan tentang bejana: “Ini terbuat dari perak, sementara itu terbuat dari tembaga”; “Ini buatan Fulan, sedangkan itu buatan Fulan.”

 

Firman Allah SWT, Innâ Khalaqnâkum min Dzakarin wa Untsâ, menegaskan bahwa tidak ada keunggulan seseorang atas lainnya disebabkan perkara sebelum kejadiannya. Dari segi bahan dasar (asal-usul), mereka semua berasal dari orangtua yang sama, yakni Adam dan Hawa. Dari segi pembuatnya, semua diciptakan oleh Zat yang sama, Allah SWT. sejatinya, perbedaan di antara mereka bukan karena faktor sebelum kejadiannya, namun karena faktor-faktor lain yang mereka peroleh atau mereka hasilkan setelah kejadian mereka. Perkara paling mulia yang mereka hasilkan itu adalah ketakwaan dan kedekatan mereka kepada Allah SWT.

 

Selanjutnya Allah Swt. berfirman: Waja‘alnâkum Syu’ûb[an] wa Qabâ`il[an] Lita’ârafû (dan Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal) Jumlah manusia akan terus berkembang hingga menjadi banyak suku dan bangsa yang berbeda-beda. Ini merupakan sunatullah. Manusia tidak bisa memilih agar dilahirkan di suku atau bangsa tertentu. Karenanya, manusia tidak pantas membanggakan dirinya atau melecehkan orang lain karena faktor suku atau bangsa. Ayat ini menegaskan, dijadikannya manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku adalah untuk saling mengenal satu sama lain.

 

Setelah menjelaskan kesetaraan manusia dari segi penciptaan, keturunan, kesukuan, dan kebangsaan, Allah Swt. menetapkan parameter lain untuk mengukur derajat kemulian manusia, yaitu ketakwaan. Kadar ketakwaan inilah yang menentukan kemulian dan kehinaan seseorang: Inna Akramakum ‘Inda Allâh Atqâkum.

 

Mengenai batasan takwa (Nasib Muhammad Rifa’i:Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir:2012), menurut pendapat yang dikutip Al-Khazin, ketakwaan adalah ketika seorang hamba menjauhi larangan-larangan; mengerjakan perintah-perintah dan berbagai keutamaan; tidak lengah dan tidak merasa aman. Jika khilaf dan melakukan perbuatan terlarang, ia tidak merasa aman dan tidak menyerah, namun ia segera mengikutinya dengan amal kebaikan, menampakkan tobat dan penyesalan. Ringkasnya, takwa adalah sikap menetapi apa-apa yang diperintahkan dan menjauhi apa-apa yang dilarang. Banyak ayat dan hadis yang juga menjelaskan bahwa kemuliaan manusia didasarkan pada ketakwaan semata. Rasulullah saw. pernah bersabda: “Wahai manusia, ingatlah bahwa sesungguhnya Tuhan kalian satu, bapak kalian juga satu. Tidak ada kelebihan orang Arab atas orang non-Arab, orang non-Arab atas orang Arab; tidak pula orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, orang berkulit hitam atas orang yang berkulit merah, kecuali dengan ketakwaan. Apakah saya telah menyampaikan...?” (HR. Ahmad).

 

Tujuan dari penciptaan manusia itu sendiri sebagaimana tersirat dalam QS. Al-Dzariyat [51]:56 yang berbunyi: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu” mengindikasikan akan pemaknaan penafsirannya seperti ini: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia untuk satu manfaat yang kembali pada diri-Ku. Aku tidak menciptakan mereka melainkan agar tujuan atau kesudahan aktivitas meraka adalah beribadah kepada-Ku. (Quraish Shihab:Tafsir Al-Mishbah), Ayat di atas menggunakan bentuk persona pertama (Aku), karena memang penekannya adalah beribadah kepada-Nya semata-mata, maka redaksi yang digunakan berbentuk tunggal dan tertuju kepada-Nya semata-mata tanpa memberi kesan adanya keterlibatan selain Allah SWT.

 

Sedangkan Jin dan manusia dijadikan oleh Allah untuk beribadah kepada-Nya. Tegasnya, Allah menjadikan kedua makhluk itu sebagai makhluk-makhluk yang mau beribadah, diberi akal dan panca indera yang mendorong mereka menyembah Allah, untuk beribadahlah tujuan mereka diciptakan. Dengan demikian, ibadah yang dimaksud disini lebih luas jangkauannya daripada ibadah dalam bentuk ritual. Tugas kekahlifahan termasuk dalam makna ibadah dan dengan demikian hakekat ibadah mencakup dua hal pokok.

Pertama: Kemantapan makna penghambaan diri kepada Allah dalam hati setiap insan.

Kedua: Mengarah kepada Allah dengan setiap gerak pada nurani, pada setiap anggota badan dan setiap gerak dalam hidup.

 

Islam telah memberi aturan yang jelas dan rinci kepada pemeluknya, yang berkenaan dengan peran dan fungsi masing-masing dalam menjalani kehidupan muka bumi ini. Terdapat perbedaan dan persamaan  yang tidak bisa dipandang sebagai adanya kesetaraan atau ketidaksetaraan gender. Pembagian tersebut semata-mata merupakan pembagian tugas yang dipandang sama-sama pentingnya dalam upaya tercapainya kebahagiaan yang hakiki di bawah keridloan Allah SWT semata. Islam telah memberikan hak-hak kaum perempuan secara adil, kaum perempuan tidak perlu meminta apalagi menuntut atau memperjuangkannya.

 

Memaknai Jender dalam Perspektif Islam dan Kekinian

Al-Qur'an seperti diyakini kaum muslim merupakan kitab hidayah, yaitu petunjuk bagi manusia dalam membedakan yang Haq dengan yang Bâthil. Dalam berbagai versinya Al-Qur'an sendiri menegaskan beberapa sifat dan ciri yang melekat dalam dirinya, di antaranya bersifat transformatif. Yaitu membawa misi perubahan untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan-kegelapan, Zhulumât (di bidang akidah, hukum, politik, ekonomi, sosial budaya dll) kepada sebuah cahaya, Nûr petunjuk ilahi untuk menciptakan kebahagiaan dan kesentosaan hidup manusia, dunia-akhirat.

 

Dari prinsip yang diyakini kaum muslim inilah, bahwa usaha-usaha manusia sebagai seorang muslim dalam penghambaaannya kepada Allah SWT dikerahkan, untuk menggali format-format petunjuk yang dijanjikan agar mendatangkan kebahagiaan bagi manusia dalam konsep Humanity. Sebagai upaya penggalian prinsip dan nilai-nilai Qur'ani yang berdimensi keilahian dan kemanusiaan maka lahirlah konsep penafsiran yang dihasilkan secara kontekstual (zaman kekinian). Allah Swt. Berfirman dalam Q.S Al-Ahzab [33]:35 yang berbunyi: “Sungguh, laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki dan perempuan mukmin, laki laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar

 

Dapat kita pahami Dari ayat diatas bahwasannya betapa Islam tidak membedakan antara laki-laki dan wanita, semua sama dihadapan Allah Ta’ala, yang membedakan adalah mereka yang paling tinggi ketaqwaannya. Kendati Masih ada hirarki yang dapat menimbulkan kebekuan dalam proses penafsiran terdapat satu dan lain hal yang menjadikan subjek dan objek dalam asumsi (pro dan kontra) dengan melibatkan semua pihak, yaitu dengan melibatkan masyarakat yang menjadi sasarannya, dan berangkat dari realitas keadaan/kondisi yang ditujukan kepada masyarakat yang sekarang ini ada.

 

Karena dalam Al-Qur’an sudah jelas diterangkan bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Mereka adalah sama yang membedakan hanyalah ketaqwaannya saja. Dengan demikian jelas bahwa Islam tidak pernah membadakan derajat manusia berdasarkan jenis kelaminnya. Mereka mamilki kewajiban dan hak yang sama. Yang menjadikan mereka lebih mulia dari yang lain adalah prestasi dan kualitas individunya. Namun demikian, dalam konsepsi kesetaraan jender bukan menjadikan seolah-olah perempuan sebagai seorang laki-laki dalam (kemampuanya). Kesetaraan gender harus diartikan sebagai upaya untuk mendapatkan hak-hak hidup seorang perempuan yang terkait dengan fungsi jender mereka dengan melihat kodrat yang dimiliki olehnya.

 

Sejatinya, jender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan  perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Atau jender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat (Helen Tierney -ed-, Women’s Studies Encyclopedia, Vol 1, New York: Green Wood Press, h.153)

 

Sedangkan dalam QS. Al-Hujurat [49]:13, dapat dianalisa terkait kapasitas seorang hamba dalam beribadah, yaitu bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal beribadah. Hal itu dikarenakan keduanya berasal dari sumber yang sama yaitu Adam dan Hawa, adapun perbedaan laki-laki dan perempuan, bukan dalam hal beribadah melainkan dalam hal tabi’at (sifat) dan kodrat. Namun dalam beribadah keduanya memilik hak dan kewajiban yang sama, keduanya pun berhak masuk ke dalam surga dan begitupun sebaliknya, dapat juga masuk ke dalam neraka, Karena hakikatnya yang membedakan kapasitas ibadah seseorang ialah tingkat ketakwaannya.

 

Dan dalam QS. Adz-Dzaariyaat [51]:56, dapat dianalisa bahwa tujuan diciptakannya manusia adalah untuk mencari keridhaan Allah SWT, karena jiwa yang memperoleh keridhaan Allah adalah jiwa yang berbahagia, mendapat ketenangan, terjauhkan dari kegelisahan dan kesengsaraan bathin. Sedangkan diakhirat kelak, kita akan memperoleh imbalan surga dan dimasukkan dalam kelompok hamba-hamba Allah SWT yang istimewa. Wallahu A’lam Bi Al-Shawâb.

 

*Ketua Komisi Pendidikan & Seni Budaya Islam MUI Lebak, Pengasuh Ponpes Modern Fathi Qalbi, Binuangeun-Wanasalam, Lebak, Ketua Prodi Pendidikan Bahasa Arab STAI Washilatul Falah Rangkasbitung