الأربعاء، 8 ديسمبر 2021

KESETARAAN JENDER PERSPEKTIF ISLAM

 

KESETARAAN JENDER PERSPEKTIF ISLAM

CARA MEMAKNAI PERBEDAAN KODRAT DALAM TATANAN KEMANUSIAAN

Oleh: Ade Budiman*

 Pendahuluan

Al-Quran pada hakikatnya menempati posisi sentral dalam studi-studi keislaman, pada dasarnya pula Al-Qur'an menegaskan konsep keadilan dan kesetaraan  dalam pelbagai permasalahan keislaman. Di samping berfungsi sebagai Al-Hudâ (Petunjuk), Al-Quran juga berfungsi sebagai Al-Furqân (pembeda). Ia menjadi tolak ukur dan pembeda antara kebenaran dan kebatilan, termasuk dalam penerimaan dan penolakan setiap berita yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Allah SWT berfirman pada surat Al-Isra [17]:9 yang berbunyi:"Sesungguhnya Al Qur'an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang Mukmin yang mengerjakan amal shaleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar".

 

Al-Qur’an memberikan petunjuk dalam persoalan-persoalan Aqidah, Syari’ah dan Akhlak, dan meletakan sebagai prinsip-prinsip dasar (Al-Mabâdi Awwaliyyah) dalam menjelaskan persoalan-persoalan tersebut secara universal, yang selanjutnya-lah Al-Hadits yang merincikan tentang keuniversalan makna tersebut dibarengi dengan statemen Ijma’ dan Qiyas para Jumhur Ulama (Mayoritas Ulama) dalam berijtihad.

 

Allah SWT memberikan tugas kepada Rasul-Nya untuk menjelaskan kepada manusia apa yang tersirat di dalam Al-Qur’an, dari hal yang berkenaan dengan konsepsi dasar Aqidah (keyakinan), kaidah-kaidah Umum dan Khusus (dalam memahaminya secara tekstual dan kontekstual Fiqih, baik dalam konteks Ibadah dan Mu’amalah) secara komprehensif. Begitupun dalam memaknai jender sebagai perbedaan yang bersifat sosial-budaya yang merupakan nilai yang mengacu pada sistem hubungan sosial yang membedakan fungsi serta peran perempuan dan laki-laki dikarenakan perbedaan biologis atau kodrat yang oleh masyarakat kemudian dibakukan menjadi suatu “budaya/tradisi” dan seakan tidak lagi bisa ditawar. Apalagi kemudian dikuatkan oleh nilai ideologi, hukum, politik, ekonomi dsb. Atau dengan kata lain jender adalah nilai yang dikonstruksi oleh masyarakat setempat yang telah mengakar di alam-bawah sadar kita, seakan ia merupakan mutlak dan suatu keharusan dan tidak bisa digantikan lagi.

 

Jender adalah pandangan atau Mindset yang dibentuk masyarakat tentang bagaimana seharusnya seorang perempuan atau laki-laki bertingkah-laku maupun berpikir. Misalnya pandangan bahwa seorang perempuan ideal harus pandai memasak, pandai merawat diri, lemah lembut atau keyakinan bahwa perempuan adalah makhluk yang sensitif, emosional, selalu memakai perasaan, dan anti akan kekerasan. Sebaliknya seorang laki-laki sering dilukiskan berjiwa pemimpin, pelindung, kepala rumahtangga, rasional dan tegas.

 

Oleh Karenanya dalam Al-Qur’an sudah jelas diterangkan bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam ayatanya QS. Al-Hujurât [49]:13 yang berbunyi: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. Sejatinya mereka adalah “sama”, yang membedakan hanyalah ketaqwaannya saja.

 

Pandangan Ahli Tafsir

Dalam QS. Al-Hujurât [49]:13, kita dibawa untuk memahami dan mendalami kontekstual pemaknaan tafsirnya, sebagaimana Abu Bakar Al-Jazairi (Aysar Al-Tafâsir Li Al-Kalâm Al-‘Aliy Al-Kabîr:J.5:h.131:Thn.1997) menyatakan; seruan ini merupakan seruan terakhir dalam surat Al-Hujurât. Dibandingkan dengan seruan-seruan sebelumnya yang ditujukan kepada orang-orang beriman, seruan ini lebih umum ditujukan kepada seluruh manusia (Al-Nâs). Allah Swt. mengingatkan manusia tentang asal-usul mereka; inilah rahasia (hikmah) dibalik penciptaan manusia yang dibedakan dengan hewan binatang lainnya, bahwa mereka semua adalah ciptaan-Nya yang bermula dari seorang laki-laki dan seorang perempuan (min dzakar wa untsâ) yang berketurunan dan bersilsilah lain dengan binatang. Menurut para mufassir, Dzakar wa Untsâ ditujukannya kepada Nabi Adam AS dan Siti Hawa AS. Seluruh manusia berpangkal pada bapak dan ibu yang sama, karena itu kedudukan manusia dari segi nasabnya pun setara. Konsekuensinya, dalam hal nasab, mereka tidak boleh saling membanggakan diri dan merasa lebih mulia daripada yang lain. Menurut mufassir lain, kata Dzakar wa Untsâ juga bisa ditafsirkan seorang bapak dan seorang ibu; atau sperma (laki-laki) dan ovum (perempuan). Karena berasal dari jenis dan bahan dasar yang sama, berarti seluruh manusia memiliki kesamaan dari segi asal-usulnya.

Imam Fakhruddin Al-Razi (Tafsir Al-Râzi: Mafâtih Al-Ghayb:j.28:h.137) memberikan paparan menarik. Menurutnya, segala sesuatu bisa diunggulkan dari yang lain karena terdapat dua faktor yang menghadirkan nuansa yang berbeda didalam memaknainya yaitu:

1.      Faktor yang diperoleh sesudah kejadiannya seperti kebaikan, kekuatan, dan berbagai sifat lain yang dituntut oleh sesuatu itu;

2.      Faktor sebelum kejadiannya, baik asal-usul atau bahan dasarnya maupun pembuatnya; seperti ungkapan tentang bejana: “Ini terbuat dari perak, sementara itu terbuat dari tembaga”; “Ini buatan Fulan, sedangkan itu buatan Fulan.”

 

Firman Allah SWT, Innâ Khalaqnâkum min Dzakarin wa Untsâ, menegaskan bahwa tidak ada keunggulan seseorang atas lainnya disebabkan perkara sebelum kejadiannya. Dari segi bahan dasar (asal-usul), mereka semua berasal dari orangtua yang sama, yakni Adam dan Hawa. Dari segi pembuatnya, semua diciptakan oleh Zat yang sama, Allah SWT. sejatinya, perbedaan di antara mereka bukan karena faktor sebelum kejadiannya, namun karena faktor-faktor lain yang mereka peroleh atau mereka hasilkan setelah kejadian mereka. Perkara paling mulia yang mereka hasilkan itu adalah ketakwaan dan kedekatan mereka kepada Allah SWT.

 

Selanjutnya Allah Swt. berfirman: Waja‘alnâkum Syu’ûb[an] wa Qabâ`il[an] Lita’ârafû (dan Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal) Jumlah manusia akan terus berkembang hingga menjadi banyak suku dan bangsa yang berbeda-beda. Ini merupakan sunatullah. Manusia tidak bisa memilih agar dilahirkan di suku atau bangsa tertentu. Karenanya, manusia tidak pantas membanggakan dirinya atau melecehkan orang lain karena faktor suku atau bangsa. Ayat ini menegaskan, dijadikannya manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku adalah untuk saling mengenal satu sama lain.

 

Setelah menjelaskan kesetaraan manusia dari segi penciptaan, keturunan, kesukuan, dan kebangsaan, Allah Swt. menetapkan parameter lain untuk mengukur derajat kemulian manusia, yaitu ketakwaan. Kadar ketakwaan inilah yang menentukan kemulian dan kehinaan seseorang: Inna Akramakum ‘Inda Allâh Atqâkum.

 

Mengenai batasan takwa (Nasib Muhammad Rifa’i:Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir:2012), menurut pendapat yang dikutip Al-Khazin, ketakwaan adalah ketika seorang hamba menjauhi larangan-larangan; mengerjakan perintah-perintah dan berbagai keutamaan; tidak lengah dan tidak merasa aman. Jika khilaf dan melakukan perbuatan terlarang, ia tidak merasa aman dan tidak menyerah, namun ia segera mengikutinya dengan amal kebaikan, menampakkan tobat dan penyesalan. Ringkasnya, takwa adalah sikap menetapi apa-apa yang diperintahkan dan menjauhi apa-apa yang dilarang. Banyak ayat dan hadis yang juga menjelaskan bahwa kemuliaan manusia didasarkan pada ketakwaan semata. Rasulullah saw. pernah bersabda: “Wahai manusia, ingatlah bahwa sesungguhnya Tuhan kalian satu, bapak kalian juga satu. Tidak ada kelebihan orang Arab atas orang non-Arab, orang non-Arab atas orang Arab; tidak pula orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, orang berkulit hitam atas orang yang berkulit merah, kecuali dengan ketakwaan. Apakah saya telah menyampaikan...?” (HR. Ahmad).

 

Tujuan dari penciptaan manusia itu sendiri sebagaimana tersirat dalam QS. Al-Dzariyat [51]:56 yang berbunyi: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu” mengindikasikan akan pemaknaan penafsirannya seperti ini: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia untuk satu manfaat yang kembali pada diri-Ku. Aku tidak menciptakan mereka melainkan agar tujuan atau kesudahan aktivitas meraka adalah beribadah kepada-Ku. (Quraish Shihab:Tafsir Al-Mishbah), Ayat di atas menggunakan bentuk persona pertama (Aku), karena memang penekannya adalah beribadah kepada-Nya semata-mata, maka redaksi yang digunakan berbentuk tunggal dan tertuju kepada-Nya semata-mata tanpa memberi kesan adanya keterlibatan selain Allah SWT.

 

Sedangkan Jin dan manusia dijadikan oleh Allah untuk beribadah kepada-Nya. Tegasnya, Allah menjadikan kedua makhluk itu sebagai makhluk-makhluk yang mau beribadah, diberi akal dan panca indera yang mendorong mereka menyembah Allah, untuk beribadahlah tujuan mereka diciptakan. Dengan demikian, ibadah yang dimaksud disini lebih luas jangkauannya daripada ibadah dalam bentuk ritual. Tugas kekahlifahan termasuk dalam makna ibadah dan dengan demikian hakekat ibadah mencakup dua hal pokok.

Pertama: Kemantapan makna penghambaan diri kepada Allah dalam hati setiap insan.

Kedua: Mengarah kepada Allah dengan setiap gerak pada nurani, pada setiap anggota badan dan setiap gerak dalam hidup.

 

Islam telah memberi aturan yang jelas dan rinci kepada pemeluknya, yang berkenaan dengan peran dan fungsi masing-masing dalam menjalani kehidupan muka bumi ini. Terdapat perbedaan dan persamaan  yang tidak bisa dipandang sebagai adanya kesetaraan atau ketidaksetaraan gender. Pembagian tersebut semata-mata merupakan pembagian tugas yang dipandang sama-sama pentingnya dalam upaya tercapainya kebahagiaan yang hakiki di bawah keridloan Allah SWT semata. Islam telah memberikan hak-hak kaum perempuan secara adil, kaum perempuan tidak perlu meminta apalagi menuntut atau memperjuangkannya.

 

Memaknai Jender dalam Perspektif Islam dan Kekinian

Al-Qur'an seperti diyakini kaum muslim merupakan kitab hidayah, yaitu petunjuk bagi manusia dalam membedakan yang Haq dengan yang Bâthil. Dalam berbagai versinya Al-Qur'an sendiri menegaskan beberapa sifat dan ciri yang melekat dalam dirinya, di antaranya bersifat transformatif. Yaitu membawa misi perubahan untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan-kegelapan, Zhulumât (di bidang akidah, hukum, politik, ekonomi, sosial budaya dll) kepada sebuah cahaya, Nûr petunjuk ilahi untuk menciptakan kebahagiaan dan kesentosaan hidup manusia, dunia-akhirat.

 

Dari prinsip yang diyakini kaum muslim inilah, bahwa usaha-usaha manusia sebagai seorang muslim dalam penghambaaannya kepada Allah SWT dikerahkan, untuk menggali format-format petunjuk yang dijanjikan agar mendatangkan kebahagiaan bagi manusia dalam konsep Humanity. Sebagai upaya penggalian prinsip dan nilai-nilai Qur'ani yang berdimensi keilahian dan kemanusiaan maka lahirlah konsep penafsiran yang dihasilkan secara kontekstual (zaman kekinian). Allah Swt. Berfirman dalam Q.S Al-Ahzab [33]:35 yang berbunyi: “Sungguh, laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki dan perempuan mukmin, laki laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar

 

Dapat kita pahami Dari ayat diatas bahwasannya betapa Islam tidak membedakan antara laki-laki dan wanita, semua sama dihadapan Allah Ta’ala, yang membedakan adalah mereka yang paling tinggi ketaqwaannya. Kendati Masih ada hirarki yang dapat menimbulkan kebekuan dalam proses penafsiran terdapat satu dan lain hal yang menjadikan subjek dan objek dalam asumsi (pro dan kontra) dengan melibatkan semua pihak, yaitu dengan melibatkan masyarakat yang menjadi sasarannya, dan berangkat dari realitas keadaan/kondisi yang ditujukan kepada masyarakat yang sekarang ini ada.

 

Karena dalam Al-Qur’an sudah jelas diterangkan bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Mereka adalah sama yang membedakan hanyalah ketaqwaannya saja. Dengan demikian jelas bahwa Islam tidak pernah membadakan derajat manusia berdasarkan jenis kelaminnya. Mereka mamilki kewajiban dan hak yang sama. Yang menjadikan mereka lebih mulia dari yang lain adalah prestasi dan kualitas individunya. Namun demikian, dalam konsepsi kesetaraan jender bukan menjadikan seolah-olah perempuan sebagai seorang laki-laki dalam (kemampuanya). Kesetaraan gender harus diartikan sebagai upaya untuk mendapatkan hak-hak hidup seorang perempuan yang terkait dengan fungsi jender mereka dengan melihat kodrat yang dimiliki olehnya.

 

Sejatinya, jender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan  perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Atau jender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat (Helen Tierney -ed-, Women’s Studies Encyclopedia, Vol 1, New York: Green Wood Press, h.153)

 

Sedangkan dalam QS. Al-Hujurat [49]:13, dapat dianalisa terkait kapasitas seorang hamba dalam beribadah, yaitu bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal beribadah. Hal itu dikarenakan keduanya berasal dari sumber yang sama yaitu Adam dan Hawa, adapun perbedaan laki-laki dan perempuan, bukan dalam hal beribadah melainkan dalam hal tabi’at (sifat) dan kodrat. Namun dalam beribadah keduanya memilik hak dan kewajiban yang sama, keduanya pun berhak masuk ke dalam surga dan begitupun sebaliknya, dapat juga masuk ke dalam neraka, Karena hakikatnya yang membedakan kapasitas ibadah seseorang ialah tingkat ketakwaannya.

 

Dan dalam QS. Adz-Dzaariyaat [51]:56, dapat dianalisa bahwa tujuan diciptakannya manusia adalah untuk mencari keridhaan Allah SWT, karena jiwa yang memperoleh keridhaan Allah adalah jiwa yang berbahagia, mendapat ketenangan, terjauhkan dari kegelisahan dan kesengsaraan bathin. Sedangkan diakhirat kelak, kita akan memperoleh imbalan surga dan dimasukkan dalam kelompok hamba-hamba Allah SWT yang istimewa. Wallahu A’lam Bi Al-Shawâb.

 

*Ketua Komisi Pendidikan & Seni Budaya Islam MUI Lebak, Pengasuh Ponpes Modern Fathi Qalbi, Binuangeun-Wanasalam, Lebak, Ketua Prodi Pendidikan Bahasa Arab STAI Washilatul Falah Rangkasbitung       

 

 

 

 

 

 

 

 

ليست هناك تعليقات:

إرسال تعليق